Selasa, 16 Maret 2010

Sertifikasi, Hak atau Penghargaan

Oleh Ade Heryawan, S. Pd.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen disahkan pada tanggal 30 Desember 2005. Sejak saat itu guru TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK/MAK dipaksa memiliki kualifikasi akademik minimal D-IV atau S-1.

Untuk memenuhi kualifikasi akademik tersebut, mereka rela mengalokasikan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit guna melanjutkan pendidikan ke berbagai perguruan tinggi. Namun, ketika mereka masih mengikuti perkuliahan dan beberapa di antaranya telah mengantongi ijazah sarjana, mereka dikagetkan dengan mekanisme rekruitmen calon peserta sertifikasi guru dalam jabatan yang tercantum dalam Bab VIII Pasal 66 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru yang menyebutkan bahwa,

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, guru dalam jabatan yang belum memenuhi kualifikasi akademik S-1 atau D-IV, dapat mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik apabila sudah:
a. mencapai usia 50 (lima puluh) tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 (dua puluh) tahun sebagai guru; atau
b. mempunyai golongan IV/a, atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/a.

Kekagetan itu semakin bertambah ketika dasar pemilihan calon peserta sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2009 ternyata lebih memprioritaskan senioritas yang ditunjukkan oleh masa kerja dan usia sebagaimana tercantum dalam pasal 66 tersebut, bukan berdasarkan kinerja dan kualifikasi akademik yang mempersyaratkan setidak-tidaknya D-IV atau S-1.

Kondisi tersebut melahirkan suatu permasalahan, sebenarnya sertifikasi itu hak atau penghargaan? Permasalahan ini dapat dijawab secara cepat, cukup dengan mencermati mekanisme rekruitmen calon peserta sertifikasi sampai saat ini. Apalagi bila mencermati rekruitmen calon peserta sertifikasi tahun 2009 yang lebih memprioritaskan masa kerja dan usia, dari pada kinerja dan kualifikasi akademik.

Berdasarkan hasil pencermatan terhadap mekanisme rekruitmen calon peserta sertifikasi, permasalahan tersebut dapat dijawab bahwa sertifikasi itu lebih merupakan hak dari pada penghargaan.

Dan jika mekanisme rekruitmen calon peserta sertifikasi tetap demikian, maka animo guru untuk meningkatkan kualifikasi akademik akan turun. Penurunan animo ini lebih didasari suatu persepsi bahwa tanpa mengantongi ijazah sarjana pun, lambat-laun mereka akan diikutsertakan sebagai calon peserta sertifikasi seiring dengan bertambahnya masa kerja dan usia. Jadi untuk apa mengeluarkan biaya banyak untuk melanjutkan kuliah?

Oleh karena itu, agar animo guru untuk meningkatkan kualifikasi akademik tetap terjaga, sebaiknya mekanisme rekruitmen calon peserta sertifikasi guru dalam jabatan harus menjadikan kualifikasi akademik minimal D-IV atau S-1 sebagai syarat pertama. Dan syarat berikutnya bukan masa kerja atau pun usia, akan tetapi kinerja dan prestasi kerja.

Dengan demikian, melalui tulisan ini penulis menyampaikan rekomendasi kepada pengambil kebijakan yang mengatur mekanisme rekruitmen calon peserta sertifikasi guru dalam jabatan sebagai berikut:
1. aktualkan data kualifikasi akademik guru yang telah mengantongi ijazah minimal sarjana atau diploma empat;
2. jadikan data tersebut sebagai syarat pertama;
3. adakan penilaian kinerja guru melalui berbagai bentuk tes dan pengamatan secara transparan dan berkesinambungan;
4. jadikan hasil penilaian tersebut sebagai dasar utama dalam menentukan guru calon peserta sertifikasi;
5. beritahukan urutan calon peserta sertifikasi secara berjenjang dan transparan.

Selain itu, demi konsistensi peningkatan kinerja dan prestasi guru dalam melaksanakan peningkatan mutu pendidikan, penulis pun menyampaikan rekomendasi kepada penjamin mutu pendidikan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. lakukan pengawasan terhadap mekanisme rekruitmen calon peserta sertifikasi guru dalam jabatan;
2. lakukan pembinaan, penilaian, dan pengamatan terhadap kinerja guru, baik yang belum mengantongi sertifikat pendidik, dan terutama sekali bagi guru yang telah mengantongi sertifikat pendidik;
3. berikan sanksi terhadap guru penerima sertifikat pendidik yang terbukti melanggar kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.

Akhirnya, penulis hanya dapat berharap semoga sertifikasi bagi guru dalam jabatan yang dilaksanakan melalui porto folio ini, benar-benar dapat mendongkrak peningkatan mutu dan kualitas pendidikan sebagaimana yang diamanatkan undang-undang.

Selanjunya kepada rekan-rekan yang belum berkesempatan mengikuti sertifikasi guru dalam jabatan, penulis mengajak untuk tetap meningkatkan kualifikasi akademik, menjaga profesionalitas jabatan guru, dan tetap berjuang untuk menciptakan peningkatan kualitas peserta didik melalui kinerja dan prestasi kerja.

Dan kepada rekan-rekan guru yang telah mengantongi sertifikat pendidik, jadikan sertifikat pendidik itu sebagai penghargaan atas kinerja dan prestasi kerja yang harus dipertahankan dan ditingkatkan, bukan sebagai hak yang diraih karena memiliki masa kerja dan usia lebih lama. Buktikan bahwa Anda benar-benar layak memiliki sertifikat itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar